


filter: 0; fileterIntensity: 0.0; filterMask: 0; captureOrientation: 0;
highlight: true; algolist: 0;
multi-frame: 1;
brp_mask:0;
brp_del_th:null;
brp_del_sen:null;
delta:null;
bokeh:0;
module: photo;hw-remosaic: false;touch: (-1.0, -1.0);sceneMode: 4718592;cct_value: 0;AI_Scene: (-1, -1);aec_lux: 0.0;aec_lux_index: 0;HdrStatus: auto;albedo: ;confidence: ;motionLevel: 0;weatherinfo: weather?Berawan, icon:1, weatherInfo:102;temperature: 36;
Kab. Lamongan (Humas) — Kantor Wilayah Kementerian Haji (Kemenhaj) Provinsi Jawa Timur menggelar Sosialisasi Kelembagaan Kelompok Bimbingan Ibadah Haji dan Umrah (KBIHU) untuk wilayah kerja Bojonegoro, Lamongan, dan Tuban. Kegiatan ini dilaksanakan di Aula PLHUT Kementerian Agama Kabupaten Lamongan, Sabtu (13/12/2025).
Sosialisasi tersebut diikuti puluhan ketua KBIHU dari tiga wilayah kerja. Dari Kabupaten Tuban, hadir 14 KBIHU yang didampingi dua staf Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Kemenag Tuban. Kegiatan ini juga didampingi dua ketua tim dari Kanwil Kemenhaj Provinsi Jawa Timur.
Kepala Kanwil Kemenhaj Jawa Timur, Asadul Anam, menyampaikan materi terkait penyelenggaraan ibadah haji Embarkasi Surabaya tahun 1447 H. Ia menegaskan pentingnya peran KBIHU sebagai mitra strategis pemerintah dalam pembinaan jemaah haji, khususnya setelah perubahan kelembagaan yang menyebabkan berkurangnya peran KUA. “KBIHU menjadi pengganti kaki yang hilang, sehingga perannya sangat vital dalam pembinaan jemaah,” ujarnya.
Dalam paparannya, Asadul Anam mengungkapkan, terdapat sekitar 2.500 jemaah yang menunda keberangkatan haji dengan berbagai faktor, antara lain kondisi ekonomi, pendamping, serta kesiapan fisik dan mental. Ia juga menjelaskan, verifikasi kesehatan jemaah dilakukan melalui dua pola, yakni di kabupaten/kota masing-masing dan di asrama haji. “Kesehatan tidak boleh dipaksakan. Jika jemaah sudah masuk asrama haji namun kemudian tidak layak berangkat, maka tidak ada lagi porsi haji dan ibadahnya akan dibadalkan,” tegasnya.
Ia menambahkan, masa 10 hari kerja menjelang keberangkatan harus dimaksimalkan untuk memastikan kesiapan jemaah. Terkait operator penyelenggaraan, tahun 2025 masih ditangani Kemenag, sedangkan tahun 2026 akan sepenuhnya oleh Kemenhaj. Penyelenggaraan haji, lanjutnya, mengedepankan tiga indikator utama, yakni sukses ritual (pelaksanaan ibadah mulai thawaf, sa’i hingga penyembelihan dam), sukses penyelenggaraan, serta sukses keadaban dan peradaban haji.
Asadul Anam juga menyoroti pentingnya aspek kesehatan jemaah. Ia menyebutkan angka kematian jemaah haji tertinggi berasal dari Indonesia, dan seperempat di antaranya berasal dari Jawa Timur. Oleh karena itu, jemaah berisiko tinggi (risti) didorong untuk melakukan diet dan perubahan gaya hidup guna memperbaiki kondisi kesehatannya sebelum keberangkatan.
Sementara itu, informasi teknis mengenai kesehatan jemaah disampaikan oleh dr. Yani dari Dinas Kesehatan Kabupaten Lamongan. Ia menjelaskan, banyak jemaah gagal memenuhi syarat istithaah kesehatan haji karena penyakit kronis dan gaya hidup yang kurang sehat. “Mengubah gaya hidup itu tidak mudah. Kami berharap KBIHU dapat membantu menyampaikan edukasi kesehatan dengan lebih baik agar kesadaran jemaah meningkat,” ujarnya.
Dr. Yani menegaskan, seluruh proses pemeriksaan kesehatan dilakukan melalui sistem dan peralatan yang tidak dapat dikondisikan. Pemeriksaan istithaah kesehatan haji saat ini diperketat menyusul tingginya angka jemaah sakit dan wafat, serta adanya permintaan langsung dari Pemerintah Arab Saudi agar jemaah Indonesia benar-benar dalam kondisi bugar. Perketatan tersebut meliputi standar kesehatan fisik, mental, dan kognitif, dengan fokus pada pengendalian penyakit kronis, demi keselamatan jemaah dan kelancaran ibadah di Tanah Suci serta untuk menghindari pemulangan paksa di bandara.
Kegiatan sosialisasi diakhiri dengan sesi tanya jawab antara peserta dan narasumber, yang membahas berbagai persoalan teknis kelembagaan KBIHU, penyelenggaraan haji, serta kesiapan kesehatan jemaah.(lai)
Editor: Laidia Maryati