Oleh Kasdikin
Akhir akhir ini pemerintah mengeluarkan kebijakan melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang memasukkan perkawinan siri ke dalam kartu keluarga (KK). Kebijakan ini banyak menuai kontroversi dan sorotan, ada yang kontra dan ada yang pro. Ada yang menilai bahwa kebijakan ini akan berimplikasi menimbulkan ketidak pastian hukum, sebagian yang lain mengatakan bahwa kebijakan tersebut menabrak norma dan dan tumpang tindih dengan keberadaan lembaga terkait lainnya. Sebagian yang lain menganggap bahwa kebijakan ini sangat dibutuhkan untuk kepastian hukum.
Bagi yang beranggapan dan menilai bahwa kebijakan ini akan berimplikasi menimbulkan ketidak pastian hukum beralasan, mengkhawatirkan akan banyak masyarakat, beranggapan kalau pernikahan sirinya sudah berkekuatan hukum negara karena sudah dicatatkan didalam Kartu Keluarga (KK). Dan implikasinya bahwa negara dianggap mengakui dan melegitimasi sesuatu perbuatan hukum dibawah tangan itu.
Mereka yang mengkhawatirkan bahwa kebijakan ini adalah kebijakan yang menabrak norma, berargumentasi bahwa dampak kebijakan tersebut secara logis bakal menumbuh suburkan praktik nikah siri di masyarakat, karena tidak diakui saja begitu suburnya pernikahan siri tersebit, apa lagi dilegalakan dan dicatat di Kartu keluaraga (KK). Padahal, prinsip dasar pernikahan adalah asas pencatatan sebagaimana tertuang dalam pasal 2 ayat 2 UU 1/1974 tentang Perkawinan. Adapun yang menganggap bahwa kebijakan ini adalah sangat dibutuhkan dan berargumentasi bahwa kebijakan ini adalah sesuai dengan semangat undang undang perkawinan no 1 tahun 1974.
Secara substansi sesungguhnya kebijakan itu sebagai upaya perlindungan terhadap hak warga negara. Khususnya perlindungan terhadap anak yang lahir dari pasangan nikah siri. Kebijakan tersebut mungkin, dilakukan untuk kesempurnaan pendataan, artinya tidak boleh ada warga yang tidak masuk dalam KK seperti apapun statusnya.
Kebijakan yang diambil oleh Dirjen Dukcapil tersebut adalah upaya mencari solusi, karena pernikahan siri dalam pengertian pernikahan yang terpenuhi syarat dan rukun nikah, tetapi belum dicatatkan itu hukumnya sah karena pernikahan dalam Islam itu peristiwa keagamaan, yang keabsahannya terikat oleh ketentuan agama dan ini juga sejalan dengan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan mengatur bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum agama, akan tetapi Kebutuhan catatan perkawinan yang tidak tercata bagi yang nikah siri sepertinya perlu kejelasan serta mempertimbangkan konsekuensi-konsekuensinya yang ditimbulkanya, sehingga tidak melanggar norma dan benturan dengan lembaga lain. Karena prinsip dasar pernikahan adalah asas pencatatan, seperti tertuang dalam pasal 2 ayat 2 UU no 1/1974 tentang Perkawinan. Untuk itu, penulisan kawin belum tercatat di dalam KK bagi pelaku nikah siri menjadi kontraproduktif.
Pencatatan nikah siri dengan pernikahan tidak tercatat perlu dikaji lebih mendalam, karena jika tidak dilakukan maka akan mempersulit kinerja Kantor urusan Agama (KUA) dan mempelai berdua yang akan melangsungkan pernikahan atau keperluan yang lainnya, sebab, didalam administrasi pencatatan di KUA, yang ada hanya kawin, tidak kawin, cerai hidup, dan cerai mati dan tidak ada nomenklatur nikah belum tercatat. Ini tentu merepotkan pelaku nikah siri dan petugas KUA. Oleh karena itu diperlukan kajian ulang bahkan harus duduk bersama antara Kemendagri, Kemenag dan Badilag Mahkamah Agung.
Dalam perundang-undangan tentang perkawinan sebenarnya sudah mengatur bagaimana tatacara perkawinan yang sah, dan penyelesaian perkawinan yang tidak tercatat. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menegaskan bahwah Pasal 2 UU Perkawinan “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bagi umat Islam, penegasan mengenai sahnya perkawinan juga tertuang dalam Lampiran Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (KHI) bahwa perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan pasal 4 KHI. Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam, setiap perkawinan harus dicatat. Pencatatan perkawinan tersebut dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah pada Kantor Urusan Agama (KUA) bagi perkawinan pasangan Muslim. Pasal 5 KHI, dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa kedua ketentuan tersebut harus dipenuhi agar perkawinan yang dilakukan dapat disebut sebagai perkawinan sah dan dapat dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah guna memperoleh akta nikah.
Hal ini sejalan dengan ketentuan pada Pasal 6 KHI “Untuk memenuhi ketentuan dalam Pasal 5 KHI, setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah”. Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum. Begitu pula ketentuan pada Pasal 7 ayat (1) KHI yang menegaskan bahwa perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah, bukan dengan Kartu Keluarga KK.
Jadi, apabila terdapat suatu perkawinan yang dilakukan tidak sesuai prosedur sebagaimana tersebut di atas dianggap tidak mempunyai kekuatan hukum, sehingga tidak dapat diterbitkan akta nikah. Fungsi akta nikah selain sebagai bukti autentik adanya perkawinan juga dimaksudkan untuk dapat memberikan jaminan perlindungan hukum bagi suami istri serta anak-anak yang akan dilahirkan, baik mengenai hak dan kewajibannya maupun terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kewarisan. Perkawinan yang hanya dilakukan menurut hukum agamanya masing-masing lazimnya disebut perkawinan siri.
Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah, dapat diajukan isbat nikah ke Pengadilan Agama. Pasal 7 ayat (2) KHI. Isbat nikah adalah pengesahan atas perkawinan yang telah dilangsungkan menurut syariat agama Islam, akan tetapi tidak dicatat oleh KUA atau Pegawai Pencatat Nikah yang berwenang sebagaimana diterangkan dalam buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama Buku II (hal. 153). Dengan demikian, jika permohonan isbat nikah dikabulkan, maka perkawinan dinyatakan sah dan memiliki kekuatan hukum.
Pihak-pihak yang dapat mengajukan pemohonan isbat nikah adalah suami istri atau salah satu dari suami atau istri, anak, wali nikah, orangtua, dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan tersebut. [5] (Pasal 7 ayat (3) KHI) Permohonan diajukan kepada Pengadilan Agama tempat tinggal pemohon dengan menyebutkan alasan dan kepentingan yang jelas.
Itulah jalan tengah penyelesaian awal yang ditawarkan oleh perundang undangan yang berlaku, oleh karena itu, selayaknya penulisan kawin tidak tercatat didalam Kartu Keluarga (KK) perlu ditinjau kembali, jika solusi yang ditawarkan dengan isbath nikah itu kurang memadai, atau kurang memuaskan satu pihak maka perlu penyempurnaan dengan menghadirkan dan duduk bersama di antara lembaga, bukan main slonong tanpa adanya penghormatan dan kerja keras lembaga lain.
*Penulis adalah Pegawai KUA Kec. Rengel dan Koordinator Pusat Kajian Agama dan Peradaban Tuban.
Editor: Laidia Maryati