Menurut Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Tuban, Sahid, ada enam peran Penyuluh Agama Islam Non PNS, pertama sebagai informan (menyampaikan semua info Kementerian Agama ke masyarakat), sebagai edukator (memberikan pendidikan dan penyuluhan), terkait daerah binaan, peran administratif, (semua kegiatan dibukukan di catat dengan baik), sebagai advokator pendamping terkait kasus tertentu dan peran spesifikasi.
Hal itu disampaikan dihadapan 20 orang Penyuluh Agama Islam Non PNS dalam acara Diklat Di Wilayah Kerja (DDWK) yang selenggarakan oleh Balai Diklat Keagamaan Surabaya, selama sepuluh hari di aula Kantor Kementerian Agama Kabupaten Tuban, mulai tanggal 16 sampai dengan 21 November.
Kepala Kantor juga mengulas kerukunan umat beragama di Kabupaten Tuban yang tidak lepas dari peran Penyuluh Agama Islam Non PNS. Hal ini ditandai dengan tingginya nilai indeks kepuasan kerukunan umat beragama kabupaten Tuban yang lebih tinggi dari Jawa Timur.
“Nilai Indeks Toleransi Umat Beragama yang ditargetkan 81,40 persen tercapai 84,20 persen. Melampaui Jawa Timur yakni 73,7 persen,” ujarnya.
Pria humble ini juga berterima kasih kepada BDK Surabaya yang telah memberikan kegiatan yang salah satunya dilaksanakan di Kabupaten Tuban. “Ini semua karena adanya koordinasi yang baik antara Kemenag Tuban dengan BDK Surabaya. Mohon diikuti sampai paripurna jangan sampai ada yang absen karena dari 160 penyuluh Agama Islam di Kabupaten Tuban hanya 20 yang terpilih,” pesannya.
Bapak dua anak ini berpesan kepada peserta untuk disiplin sehingga bisa menghasilkan penyuluh yang tangguh yang bermutu dan berkualitas.
Sementara itu, Kasubag TU Balai Diklat Keagamaan Surabaya, Muslimin, menyampaikan untuk meningkatkan kualitas SDM Aparatur Sipil Negara, dengan revisi optimalisasi anggaran yang bisa untuk dipakai pelatihan 11 angkatan salah satunya dilaksanakan di Kabupaten Tuban.
“Peserta sebanyak 20 karena Pandemi Covid-19 yang masih berlangsung, jadi mohon diikuti dengan sungguh-sungguh,” ujarnya.
Ada enam peningkatan kualitas diklat, yang pertama input yang benar (calon peserta yang benar, sesuai jenis pelatihannya), lalu proses yang baik (Narasumber dan Widyaiswara yang baik), ketiga output yang baik (setelah diklat ada perubahan yang lebih baik), lalu ada outcome yang lebih baik di tempat kerjanya, benefit/manfaat bagi umat sesuai tupoksi penyuluh, bisa mengurangi konflik bukan menambah konflik dan yang keenam impact atau dampak yang akan muncul dengan pencitraan yang baik dan positif.
“Jika keenamnya bisa dijalani maka mutu bisa dicapai dengan sempurna,” pungkasnya. (lai/irn)
Editor: Laidia Maryati